“Tiadakah mereka melakukan perjalanan di muka bumi, sehingga mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka merasa, dan mempunyai telinga yang dengan
itu mereka mendengar? Sungguh, bukanlah matanya yang buta, tetapi yang buta
ialah hatinya, yang ada dalam (rongga) dadanya.” (Al Hajj : 46)
Pendidikan agama harus diimulai dari rumah tangga, sejak si anak masih kecil.
Pendidikan tidak hanya berarti memberi pelajaran agama kepada anak-anak
yang belum lagi mengerti dan dapat menangkap pengertian-pengertian yang
abstrak. Akan tetapi yang terpokok adalah penanaman jiwa percaya kepada Tuhan,
membiasakan mematuhi dan menjaga nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang ditentukan
oleh ajaran agama.
Menurut pendapat para ahli jiwa, bahwa yang mengendalikan kelakuan dan tindakan
seseorang adalah kepribadiannya. Kepribadian tumbuh dan terbentuk dari
pengalaman-pengalaman yang dilaluinya sejak lahir. Bahkan mulai dari dalam
kandungan ibunya sudah ada pengaruh terhadap kelakuan si anak dan terhadap
kesehatan mentalnya pada umumnya. Dengan memberikan pengalaman-pengalaman yang
baik, nilai-nilai moral yang tinggi, serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai
dengan ajaran agama sejak lahir, maka semua pengalaman itu akan menjadi bahan
dalam pembinaan kepribadian.
Dengan demikian, pendidikan Agama Islam berperan membentuk manusia Indonesia yang
percaya dan takwa kepada Allah SWT, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya
dalam kehidupan sehari-sehari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam
kehidupan bermasyarakat, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
“Dan demi nafs dan yang
menciptakannya, maka diilhamkan-Nya kepada jiwa tersebut kefasikan dan
ketakwaanya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan
merugilah orang yang mengotorinya” (Asy-Syam:7-10)
A.
Ajaran Islam Yang Berkaitan Dengan Bimbingan Konseling
Bebicara tentang agama
terhadap kehidupan manusia memang cukup menarik, khususnya Agama Islam. Hal ini
tidak terlepas dari tugas para Nabi yang membimbing dan mengarahkan manusia
kearah kebaikan yang hakiki dan juga para Nabi sebagai figure konselor yang
sangat mumpuni dalam memecahkan permasalahan (problem solving) yang berkaitan
dengan jiwa manusia, agar manusia keluar dari tipu daya syaiton. Seperti
tertuang dalam ayat berikut ini :
“Demi masa. Sungguh
manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan melakukan amal
kebaikan, saling menasehati supaya mengikuti kebenaran dan saling menasehati
supaya mengamalkan kesabaran”. (Al-Ashr :1-3)
Dengan kata lain manusia
diharapkan saling memberi bimbingan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas
manusia itu sendiri, sekaligus memberi konseling agar tetap sabar dan tawakal
dalam menghadapi perjalanan kehidupan yang sebenarnya.
“Berkata orang-orang
tiada beriman:”Mengapa tiada diturunkan kepadanya (Muhammad) sebuah mukjizat
dari Tuhannya?”
Jawablah :”Allah
membiarkan sesat siapa yang Ia kehendaki, dan membimbing orang yang bertobat
kepada-Nya.” (Ar-Ra’d :27)
Dari
ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa ada jiwa yang menjadi fasik dan
adapula jiwa yang menjadi takwa, tergantung kepada manusia yang memilikinya.
Ayat ini menunjukan agar manusia selalu mendidik diri sendiri maupun
orang lain, dengan kata lain membimbing kearah mana seseorang itu akan menjadi,
baik atau buruk. Proses pendidikan dan pengajaran agama tersebut dapat
dikatakan sebagai “bimbingan” dalam bahasa psikologi. Nabi Muhammad SAW,
menyuruh manusia muslim untuk menyebarkan atau menyampaikan ajaran Agama Islam
yang diketahuinya, walaupun satu ayat saja yang dipahaminya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa nasihat agama itu ibarat bimbingan (guidance) dalam
pandangan psikologi.
Dalam hal ini Islam memberi perhatian pada proses
bimbingan,. Allah menunjukan adanya bimbingan, nasihat atau petunjuk bagi
manusia yang beriman dalam melakukan perbuatan terpuji, seperti yang tertuang
pada ayat-ayat berikut :
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam
keadaan sebaik-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ketempat yang
serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
soleh, maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya” (At-Tiin :4-5)
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan-keturunan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab : Betul (Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi). Kami lakukan
yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan :”Sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
(Al-A’Raf :172)
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran:104)
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalann-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (An Nahl:125)
Ada beberapa ayat
yang lebih khusus menerangkan tugas seseorang dalam pembinaan agama bagi keluarganya.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan”. (At Tahrim:6)
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang
terdekat” (As-Syu’ara:214)
Sedangkan pada beberapa
Hadits yang berkaitan dengan arah perkembangan anak diantaranya :
“Tiap-tiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan suci. Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya
beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR Baihaqi)
“Seseorang supaya
mendidik budi pekerti yang baik atas anaknya. Hal itu lebih baik daripada
bersedekah satu sha” (HR At Turmudzi)
“Muliakanlah anak-anakmu
dan perbaikilah budi pekertinya” (HR Ibnu Majah)
Selanjutnya yang berkaitan dengan
perkembangan konseling, khusus konseling sekolah adalah adanya kebutuhan nyata
dan kebutuhan potensial para siswa pada beberapa jenjang pendidikan,
yaitu meliputi beberapa tipe konseling berikut ini :
- Konseling krisis, dalam menghadapi saat-saat krisis yang dapat terjadi
misalnya akibat kegagalan sekolah, kegagalan pergaulan atau pacaran, dan
penyalahgunaan zat adiktif.
- Konseling fasilitatif, dalam menghadapi kesulitan dan
kemungkinan kesulitan pemahaman diri dan lingkungan untuk arah diri dan
pengambilan keputusan dalam karir, akademik, dan pergaulan social.
- Konseling preventif, dalam mencegah sedapat mungkin kesulitan yang
dapat dihadapi dalam pergaulan atau sexual, pilihan karir, dan
sebagainya.
- Konseling developmental, dalam menopang kelancaran perkembangan
individual siswa seperti pengembangan kemandirian, percaya diri, citra
diri, perkembangan karir dan perkembangan akademik.
Dengan demikian, kebutuhan akan
hubungan bantuan (helping relationship), terutama konseling, pada dasarnya
timbul dari diri dan luar individu yang melahirkan seperangkat pertanyaan
mengenai apakah yang harus diperbuat individu.
Dalam
konsep Islam, pengembangan diri merupakan sikap dan perilaku yang sangat
disitimewakan. Manusia yang mampu mengoptimalkan potensi dirinya, sehingga
menjadi pakar dalam disiplin ilmu pengetahuan dijadikan kedudukan yang mulia
disisi Allah SWT.
“…niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Mujadalah 58:11)
B.
Pendekatan Islami Dalam Pelaksanaan Bimbingan Konseling
Pendekatan
Islami dapat dikaitkan dengan aspek-aspek psikologis dalam pelaksanaan
bimbingan konseling yang meliputi pribadi, sikap, kecerdasan, perasaan, dan
seterusnya yang berkaitan dengan klien dan konselor.
Bagi
pribadi muslim yang berpijak pada pondasi tauhid pastilah seorang pekerja
keras, namun nilai bekerja baginya adalah untuk melaksanakan tugas suci yang
telah Allah berikan dan percayakan kepadanya, ini baginya adalah ibadah.
Sehingga pada pelaksanaan bimbingan konseling, pribadi muslim tersebut memiliki
ketangguhan pribadi tentunya dengan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Selalu
memiliki Prinsip Landasan dan Prinsip Dasar yaitu hanya beriman kepada Allah
SWT.
2.
Memiliki Prinsip Kepercayaan, yaitu beriman kepada malaikat.
3.
Memiliki Prinsip Kepemimpina, yaitu beriman kepada Nabi dan Rasulnya.
4.
Selalu memiliki Prinsip Pembelajaran, yaitu berprinsip kepada Al-Qur’an
Al Karim.
5.
Memiliki Prinsip Masa Depan, yaitu beriman kepada “Hari Kemudian”
6.
Memiliki Prinsip Keteraturan, yaitu beriman kepada “Ketentuan Allah”
Jika
konselor memiliki prinsip tersebut (Rukun Iman) maka pelaksanaan bimbingan dan
konseling tentu akan mengarahkan klien kearah kebenaran, selanjutnya dalam
pelaksanaannya pembimbing dan konselor perlu memiliki tiga langkah untuk menuju
pada kesuksesan bimbingan dan konseling. Pertama, memiliki mission statement
yang jelas yaitu “Dua Kalimat Syahadat”, kedua memiliki sebuah metode
pembangunan karakter sekaligus symbol kehidupan yaitu “Shalat lima waktu”, dan
ketiga, memiliki kemampuan pengendalian diri yang dilatih dan disimbolkan
dengan “puasa”. Prinsip dan langkag tersebut penting bagi pembimbing dan
konselor muslim, karena akan menghasilkan kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ)
yang sangat tinggi (Akhlakul Karimah). Dengan mengamalkan hal tersebut akan
memberi keyakinan dan kepercayaan bagi counselee yang melakukan
bimbingan dan konseling.
“Dan hendaklah ada
diantara kamu suatu umat yang menyeru berbuat kebaikan, dan menyuruh orang
melakukan yang benar, serta melarang yang mungkar. Merekalah orang yang
mencapai kejayaan.” (Ali Imran : 104)
Pada ayat
tersebut memberi kejelasan bahwa pelaksanaan bimbiungan dan konseling akan
mengarahkan seseorang pada kesuksesan dan kebijakan, dan bagi konselor sendiri
akan mendapat nilai tersendiri dari Allah SWT. Para pembimbing dan konselor
perlu mengetahui pandangan filsafat Ketuhanan (Theologie), manusia disebut
“homo divians” yaitu mahluk yang berke-Tuhan-an, bebarti manusia dalam
sepanjang sejarahnya senantiasa memiliki kepercayaan terhadap Tuhan atau
hal-hal gaib yang menggetarkan hatinya atau hal-hal gaib yang mempunyai daya
tarik kepadanya (mysterium trimendum atau mysterium fascinans). Hal demikian
oleh agama-agama besar di dunia dipertegas bahwa manusia adalah mahluk yang
disebut mahluk beragama (homo religious), oleh karena itu memiliki naluri agama
(instink religious), sesuai dengan firman Allah SWT :
“Maka hadapkanlah wajahmu
kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah (naluri) Allah yang telah menciptakan
manusia menurut naluri itu, tidak ada perubahan pada naluri dari Allah itu.
Itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
(Ar-Rum : 30)
Pada diri counselee
juga ada benih-benih agama, sehingga untuk mengatasi masalah dapat dikaitkan
dengan agama, dengan demikian pembimbing dan konselor dapat mengarahkan
individu (counselee) kearah agamaya, dalam hal ini Agama Islam.
Dengan berkembangnya ilmu
jiwa (psikologi), diketahui bahwa manusia memerlukan bantuan untuk mengatasi
kesulitan yang dihadapinya dan muncullah berbagai bentuk pelayanan kejiwaaan,
dari yang paling ringan (bimbingan), yang sedang (konseling) dan yang paling
berat (terapi), sehingga berkembanglah psikologi yang memiliki cabang-cabang
terapan, diantaranya bimbingan, konseling dan terapi.
Selanjutnya ditemukan bahwa
agama, terutama Agama Islam mempunyai fungsi-fungsi pelayanan bimbingan,
konselingdan terapi dimana filosopinya didasarkan atas ayat-ayat Alquran dan
Sunnah Rosul. Proses pelaksanaan bimbingan, konseling dan psikoterapi dalam
Islam, tentunya membawa kepada peningkatan iman, ibadah dan jalan hidup yang di
ridai Allah SWT.